Oleh
Syaikh Muhammad bin Mûsa Alu Nashr
Di antara pokok utama aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, ialah meyakini
bahwa Allah Subhanahu wa Ta’alaberada di langit (di atas langit), Allah
Subhanahu wa Ta’ala berada di atas makhluk-makhluk-Nya dan ber-istiwâ`
(bersemayam) di atas 'Arsy sesuai dengan kesempurnaan dan keagungan-Nya,
tidak seperti bersemayamnya seorang manusia. Akan tetapi, meskipun
Allah Subhanahu wa Ta’alabersemayam di atas Arsy, ilmu-Nya ada di setiap
tempat dan Dia lebih dekat dari urat leher seseorang. Tidak pula
tersembunyi dari-Nya apa pun yang ada di langit dan di bumi, bahkan Dia
mengetahui dan menyaksikan pembicaraan-pembicaraan rahasia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَىٰ ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا
خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَىٰ مِنْ ذَٰلِكَ وَلَا
أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا
… Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah
keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah
keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari
itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun
mereka berada …. [al-Mujâdilah/58:7].
Tapi kebersamaan ini adalah kebersamaan pendengaran, ilmu, penguasaan
dan rahmah, bukan kebersamaan secara fisik sebagaimana dikatakan
Jahmiyah [1] dan Huluuliyah [2] . Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka
katakan.
Sifat 'Uluw (Tinggi) Allah Subhanahu wa Ta’ala, terbagi menjadi umum dan
khusus. Umum ditinjau dari ketinggian-Nya atas seluruh makhluk; dan
khusus, jika ditinjau dari bersemayamnya di atas 'Arsy setelah
penciptaan langit dan bumi.
Dari sini Ahlus-Sunnah menetapkan ketinggian Dzat Allah, Dzat-Nya yang
Maha Suci. Dia ada sebelum penciptaan makhluk, sebelum penciptaan langit
dan bumi, serta sebelum adanya waktu dan tempat.
Kemudian, setelah menciptakan 'Arsy, Dia bersemayam di atasnya. Di sini
bisa disimpulkan bahwa ketinggian adalah sifat dzatiyah [3] Allah.
Sedangkan bersemayamnya Allah Subhanahu wa Ta’aladi atas 'Arsy adalah
sifat fi’liyah ikhtiyariyah[4], maka Allah bersemayam kapan saja dan
dengan cara apa saja yang Dia kehendaki.
Al-Istiwâ` (bersemayam), al-'uluw (tinggi) dan al-irtifa' (ketinggian)
mempunyai empat arti. Berarti 'ala (di atas), irtafa'a (tinggi), sha'ada
(naik), dan istaqarra (tetap) tanpa perlu ditanyakan bagaimananya.
Seperti jawaban Imam Mâlik ketika ditanya tentang istiwâ, beliau
berkata: "Al-Istiwâ` tidaklah asing (yaitu bisa difahami) dan wujudnya
tidak masuk akal (tidak mampu difahami akal), sedangkan mengimaninya
wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid'ah," kemudian beliau
memerintahkan untuk mengeluarkan si penanya dari masjid.
Oleh karena itu, Ahlus-Sunnah menetapkan ketinggian Dzat Allah dan sifat
'uluw (tinggi) secara umum atas seluruh makhluk sebelum penciptaan
serta sifat 'uluw (tinggi) secara khusus, yaitu ketinggian dan
bersemayam-Nya setelah penciptaan Arsy. Sehingga sifat 'uluw (tinggi)
yang umum melekat dengan Dzat-Nya, sedangkan sifat 'uluw (tinggi) secara
khusus berkenaan dengan kehendak dan pilihan-Nya.
Banyak kelompok telah menyelisihi Ahlus-Sunnah dalam penetapan sifat
'uluw; di antaranya Jahmiyah, Hulûliyah Ittihadiyah, Mu'tazilah dan
selain mereka. Mereka menafsirkan kata istiwâ` dengan istilâ`
(menguasai, merebut). Ini merupakan penafsiran baru yang disusupkan ke
dalam Islam, yang tidak pernah dikenal oleh generasi pertama umat ini,
generasi umat yang terbaik. Kata istiwâ`, jika dibuat aktif dengan kata
sambung (على), maka tidak punya arti kecuali 'uluw (tinggi) dan
fauqiyyah (ketinggian).
Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas 'Arsy. [Thaha/20:5]
Sebenarnya, makna lainnya dari istiwâ` masih banyak, tetapi yang menjadi
titik perbedaan antara Ahlus-Sunnah dengan kelompok-kelompok lain,
ialah dalam bentuk aktif dengan kata sambung (على). Maka dalam firman
Allah yang telah disebutkan tadi, makna (على) ialah di atas. Disinilah
penyelisihan ahlul bid'ah terghadap Ahlus-Sunnah. Mereka bersikeras,
makna istiwâ` ialah istaulâ`. Mereka berhujjah dengan sebuah bait syair
palsu yang berbunyi:
اسْتَوَى بِشْرٌ عَلَى الْعِرَاقِ مِنْ غَيْرِ سَيْفٍ وَلاَ دَمٍ مِهْرَاقٍ
(Bisyr menguasai/merebut Iraq tanpa pedang dan darah yang mengalir).
Syair ini tidak diketahui siapa yang membuatnya. Ada yang mengatakan
syair ini milik Akhtal an-Nashrani (seseorang yang beragama Nashara),
tetapi tidak ditemukan dalam kumpulan syair-syairnya. Kalaupun perkataan
ini benar, apakah kita akan mengatakan bahwa Akhtal yang beragama
Nashrani lebih paham tentang makna-makna Al-Qur`ân dibandingkan para
sahabat dan generasi pertama dari umat ini? Padahal perkataan ini sangat
jelas ketidakbenarannya. Bagaimana mereka sanggup menolak ayat-ayat Al-
Qur`ân dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
kemudian mengambil hujjah dari syair yang dipalsukan, tidak jelas siapa
yang mengatakannya? Sehingga Ahlus-Sunnah bisa dengan mudah mematahkan
argumen mereka yang lemah ini dengan Al-Qur`ân dan Sunnah, bahkan
melalui tinjauan bahasa sekalipun.
Telah banyak kisah dari ahli ilmu tentang bantahan ini, sebagaimana
sebuah kisah dari seorang ahli bahasa Imam Ibnul-'Arâbi. Suatu ketika
ada yang bertanya kepada beliau: "Wahai Imam, apa makna firman Allah (
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى) ?"
Beliau menjawab: "Maknanya ialah isti'lâ` (tinggi di atas)".
Si penanya membantah: "Tidak, maknanya ialah istaula (menguasai/merebut)".
Beliau berkata: "Diam! Orang Arab tidak memaknai istawâ` dengan
pengertian istaulâ`, kecuali ketika ada perlawanan dan perselisihan.
Siapakah yang mampu melawan kekuasaan Allah dan menentang-Nya?"
Kemudian kalau kita mengatakan istawâ` bermakna istaulâ`, maka kita
telah menetapkan kelemahan bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena
berarti Arsy-Nya pernah dikuasai pihak lain selama beberapa waktu
sehingga Allah perlu menguasainya kembali. Sehingga sangat jauh (tidak
mungkin) hal ini terjadi terhadap Allah yang Maha Sempurna.
Ayat-ayat Al-Qur'ân yang menerangkan sifat 'uluw (tinggi) bagi Allah
Subhanahu wa Ta’alasangatlah banyak. Di antaranya firman Allah Ta'ala:
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia
menjungkirbalikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu
bergoncang. [al-Mulk/67:16].
Maksud man fis sama, ialah 'Dzat yang berada di dalam langit' ialah Dzat
yang berada di atas langit. Jadi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di
atas langit (bukan di dalamnya, Pent.). Lantaran jumlah langit adalah
tujuh, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di atas langit ke tujuh.
Tempat 'Arsy berada di atas langit tujuh. Maka, Allah Subhanahu wa
Ta’ala bersemayam di atas Arsy tersebut sesuai dengan kesempurnaan-Nya,
sedangkan ilmu-Nya meliputi segala tempat. Ini karena kata sambung (في,
fii) pada ayat di atas mempunyai arti "di atas" (fauqiyyah dan 'uluw),
bukan sebagai zharfiyyah (keterangan tempat).
Ketika kita mengatakan الماء في الكوز (air di dalam cangkir), dalam
perkataan ini (في) menjadi keterangan tempat (zharfiyyah), sehingga
diartikan "di dalam". Seperti halnya kita mengatakan الطُّلاَّبُ فِيْ
الْقَاعَة (murid-murid di dalam kelas). Karena kelas mengelilingi
mereka, maka diartikan murid-murid "di dalam" kelas. Tetapi hal ini
tidak mungkin terjadi pada Allah, dimana langit mengelilingi-Nya. Maka
kita artikan (في) dengan "di atas", karena ini juga salah satu makna
(في).
Di antara dalil bahwa (في) bermakna "di atas" juga adalah firman Allah
Subhanahu wa Ta’alaketika menceritakan perkataan Fir'aun kepada para
penyihirnya:
قَالَ آمَنْتُمْ لَهُ قَبْلَ أَنْ آذَنَ لَكُمْ إِنَّهُ لَكَبِيرُكُمُ
الَّذِي عَلَّمَكُمُ السِّحْرَ فَلَأُقَطِّعَنَّ أَيْدِيَكُمْ
وَأَرْجُلَكُمْ مِنْ خِلافٍ وَلَأُصَلِّبَنَّكُمْ فِي جُذُوعِ النَّخْلِ
وَلَتَعْلَمُنَّ أَيُّنَا أَشَدُّ عَذَاباً وَأَبْقَى
Berkata Fir'aun: "Apakah kamu telah beriman kepadanya (Musa) sebelum aku
beri izin kepadamu sekalian. Sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang
mengajarkan sihir kepadamu sekalian. Maka sesungguhnya aku akan memotong
tangan dan kaki kamu sekalian dengan bersilang secara bertimbal-balik,
dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian di atas pohon kurma,
dan sesungguhnya kamu akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih
pedih dan lebih kekal siksanya". [Thâhâ/20:71].
Dalam ayat ini Fir'aun mengancam para penyihir yang beriman dengan
kenabian Musa. Mereka diancam akan disalib di atas pohon kurma. Apakah
mungkin orang yang berakal mengatakan makna (في) dalam ayat tersebut
adalah "di dalam"? Lalu apa gunanya ancaman Fir'aun ini kalau para
penyihir disalib di dalam pohon kurma? Bukankah Fir'aun melakukan
ancaman ini supaya yang lain takut dengan kekejamannya? Bagaimana yang
lain akan takut kalau tidak bisa melihat apa yang terjadi?
Ayat lain yang menerangkan (في) bermakana "di atas", yaitu firman Allah:
قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ ثُمَّ انْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
Katakanlah: "Berjalanlah di atas bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana
kesudahan orang-orang yang mendustakan itu". [al-An'âm/6:11].
Apakah pengertian "berjalan di dalam bumi" yang termaktub dalam ayat di
atas berarti menelusuri goa-goa di perut bumi yang gelap? Apakah
mengarungi air bak? Apa yang dapat disaksikan? (Tidak ada, Pent.).
Jadi, maksud dari "berjalan di dalam bumi", ialah berjalan di atasnya
untuk merenungi ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, tanda-tanda kebesaran
Allah di alam semesta ini untuk mengantarkan kepada rasa takut kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Demikian, aqidah Imam Syafi'i rahimahullah yang terangkum dalam
pernyataan beliau berikut ini: "Konsep ajaran Islam yang aku pegangi dan
dipegangi orang-orang yang aku ketahui, semisal Sufyan (ats-Tsauri),
(Imam) Mâlik dan lain-lain, (ialah) pengakuan terhadap persaksian
bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah, dan
sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah. Sesungguhnya Allah di atas
'Arsy, mendekati makhluk-makhluk-Nya sesuai dengan kehendak-Nya, dan
turun ke langit bumi sesuai dengan kehendak-Nya". (Mukhtashar 'Uluw)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XII/1429/2008M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
*). Diterjemahkan oleh Ustad Muhammad Taufik Badri.
[1]. Golongan menyimpang produk Jahm bin Shafwân. Di antara pokok
penyimpangannya, yaitu keyakinan bahwa AllahSubhanahu wa Ta'alal tidak
mempunyai sifat-sifat.
[2]. Golongan menyimpang yang menyatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala
menyatu dengan makhluk-Nya atau Allah berada dimana-mana.
[3]. Sifat-sifat yang tidak terpisahkan dengan Dzat Allah Subhanahu wa Ta'ala .
[4]. Perbuatan-perbuatan (sifat-sifat) yang tergantung pada kehendak
Allah Subhanahu wa Ta'ala . Allah melakukannya ketika berkehendak saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar