“Apabila salah seorang di antara kalian ditimpa
musibah, maka hendaknya ia mengingat musibah yang ia alami dengan
(wafatnya) diriku. Karena sesungguhnya wafatku adalah musibah yang
paling besar.” [1]
Melalui hadits di atas, jelaslah bagi kita bahwa
wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah musibah terbesaryang
telah terjadi dan akan terus dialami oleh seluruh ummat Islam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta kita untuk mengingat
kembali atas wafat dan kepergian beliau pada saat kita mengalami
musibah, karena dengan cara demikianlah segala musibah yang kita alami
akan terasa ringan.
Tidak seorang pun kekasih, orang yang kita cintai,
kerabat, atau sahabat pergi meninggalkan kita, melainkan hati kita akan
merasakan sakit dan pilu karena berpisah dengannya. Namun, pernahkah
kita merasakan hal tersebut pada saat kita merasakan kepergian dan
wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Bagaimana seandainya seseorang kehilangan seluruh
anggota keluarganya? Saat itu hatinya terasa terbakar dan pilu, dan air
matanya melahirkan kesedihan. Lalu, tidak lama kemudian ia menikah lagi,
dan beberapa tahun setelah itu salah seorang anaknya (dari istri kedua)
meninggal kedua. Bagaimana kiranya kesedihan dan kepiluan hatinya jika
dibandingkan dengan musibah pertamanya? Bukankah kesedihan tersebut
terasa lebih ringan dan musibah yang ia hadapi terlihat lebih kecil?
Demikianlah seharusnya kita menghibur diri kita tiap
kali diuji dengan musibah, yaitu dengan mengingat musibah wafatnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berpesan kepada kita dengan
sabdanya:
“Wahai sekalian manusia, barang siapa di antara
kalian- atau di antara orang-orang yang beriman- ditimpa musibah, maka
hendaklah ia menghibur dirinya dengan mengingat musibah wafatku,
dibandingkan dengan musibah lain yang menimpa dirinya. Karena
sesungguhnya seseorang dari umatku tidak akan ditimpa musibah yang lebih
besar dari pada musibah atas wafatnya diriku.” [2]
Seandainya kita merenungi kalimat “hendaknya dia
menghibur diri”, niscaya kita akan menemukan obat dan penyembuhan
padanya, dan sesungguhnya kalimat tersebut adalah rangkaian huruf-huruf
yang dapat mengobati jiwa yang sedang duka. Bagaimana seandainya
seseorang kehilangan kedua orang tua tercintanya dalam sebuah kecelakaan
mobil, misalnya? Bukankah dampak dari musibah tersebut akan terus ada
dalam hatinya sepanjang masa? Bagaimana seandainya ia kehilangan ibunya
atau istrinya atau anaknya? Lalu, bagaimana dengan diri kita yang telah
ditimpa musibah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam namun
kita tidak merasakannya?
Sesungguhnya musibah ini harus dianggap sebagai
musibah yang besar, terlebih setelah kita mendengar sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Tidak sempurna keimanan salah seorang di antara
kalian, hingga aku lebih ia cintai daripada anaknya, bapaknya dan
manusianya.” [3]
Seolah-olah makna yang nampak dari redaksi di atas
adalah: “Tidaklah sempurna keimanan seseorang di antara kalian hingga
musibah wafatnya diriku menjadi lebih besar baginya daripada musibah
yang menimpa dirinya karena kehilangan anaknya, kedua orang tuanya atau
manusia seluruhnnya”.
Di manakah rasa sedih itu kini berada? Dan di manakah
-Demi Rabb kalian- kedukaan itu kini bersemayam? Begitulah seharusnya
perasaan seorang Mukmin sejati. Sesungguhnya penulis melihat bahwa
kepergian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu musibah
dalam agama. Siapa pun yang pergi meninggalkan Anda, sesungguhnya semua
itu lebih ringan bila dibandingkan dengan kehilangan Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam.
bersabarlah atas setiap musibah, dan tegarlah… ketahuilah sesungguhnya tiap jiwa tidak akan abadi…
jika engkau ingin menghibur dirimu dengan sebuah musibah…
maka ingatlah musibahmu atas wafatnya Nabi…
Pernahkan engkau kehilangan ibu? Apakah engkau selalu ingat saat ia wafat –yaitu ketika engkau meratapinya- bahwa ia telah mengeluarkanmu dari gelapnya alam rahim kepada terangnya dunia, dan ia telah memelihara sertya merawat dirimu?
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyelamatkan dirimu
–melalui dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- dari gelapnya
kesesatan menuju cahaya petunjuk/hidayah dan tauhid. Dan hal ini –dengan
izin Allah Subhanahu wa Ta’ala- merupakan pertolongan begimu agar
selamat dari kehidupan yang kekal di Neraka. Apakah dengan air susu
ibumu, kasih saying juga kelembutannya engkau dapat terselamatkan dari
kehidupan yang kekal di Neraka?
Demi Allah, seandainya saya (penulis) mempunyai
seribu orang ibu yang menyayangi dan mengasihi seperti halnya ibu
kandung saya sendiri, kemudian mereka semua meninggal dunia dalam satu
hari yang sama, niscaya kesedihanku atas kepergian mereka tidak akan
melebihi kesedihanku atas wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Apakah engkau pernah kehilangan seorang anak? Apakah
tangisanmu atas kepergiannya semakin menjadi-jadi ketika engkau teringat
kepada bantuan dan pertolonganya, serta kasih saying dan baktinya?
Sebesar apapun semua itu, namun ia tidak akan dapat mencapai apa yang
telah dipersembahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
–dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala- membuat kita dapat masuk Surga
yang luasnya seluas langit dan bumi, dan di dalamnya kita akan hidup
abadi serta memperoleh segala kenikmatan.
Kita memperoleh kebahagiaan dengan adanya bantuan anak-anak kita dan
kasih sayang mereka pada tahun-tahun yang lalu. Akan tetapi, kenikmatan
Surga itu tidak ada batas dan akhirnya. Lalu tidakkah wafatnya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih berhak membuat kita sedih
dibandingkan dengan kematian orang selain beliau? Bukankah hal itu lebih
pantas untuk kita ingat dari pada mengenang mereka yang telah
meninggalkan kita, baik anak-anak, keturunan, maupun orang-orang yang
kita cintai?Foot Note:
[1] HR.Ibnu Sa’ad, ad-Darimi dan lainnya. Hadits tersebut shahih dengan dukungan hadits-hadits yang lainnya sebagaimana disebutkan dalam ash-Shahiihah (no.1106).
[2] HR. Ibnu Majah, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Shahiih Sunan Ibni Majah (no.1300).
[3] HR.al-Bukhari (no.15) dan Muslim (no. 44).
Sumber : Musibah Terbesar Ummat Islam, Syaikh Husain bin ‘Audah al-’Awisyah, Pustaka Imam Syafi’i, Cet.I, Hal.9-17.
Artikel: http://alqiyamah.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar